Kiat-Kiat Mempererat Cinta Suami-Istri

Posted by Lembaga Muslimah DPC Wahdah Islamiyah Bandung On Minggu, 03 April 2011 1 komentar

Ada kejadian, seorang laki-laki sebelum menikah menginginkan istri yang cantik parasnya dan beberapa kriteria lainnya. Tetapi pada saat pernikahan, dia mendapatkan istrinya sangat jauh dari kriteria yang ia tetapkan. Subhanallah! Inilah jodoh, walaupun sudah berusaha keras, tetapi jika Allah menghendaki lain, semua akan terjadi. Pada awalnya ia terkejut karena istrinya ternyata kurang cantik, padahal sebelumnya sudah nazhar (melihat) calon istrinya tersebut. Sampai ayah dari pihak suami menganjurkan anaknya untuk menceraikan istrinya tersebut. Tetapi kemudian ia bersabar. Dan ternyata ia mendapati istrinya tersebut sebagai wanita yang shalihah, rajin shalat, taat kepada orang tuanya, taat kepada suaminya, selalu menyenangkan suami, juga rajin shalat malam.
Pada akhirnya, setelah sekian lama bergaul, sang suami ini merasa benar-benar puas dengan istrinya. Bahkan ia berpikir, lama-kelamaan istrinya bertambah cantik, dan ia sangat mencintai serta menyayanginya. Karena kesabaranlah Allah menumbuhkan cinta dan ketentraman. Ternyata faktor fisik tidaklah begitu pokok dalam menentukan kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga, walaupun bisa juga ikut berperan menentukan.
Berikut ini kami bawakan kiat-kiat praktis sebagai ikhtiar merekatkan cinta kasih antara suami istri, sehingga keharmonisan bisa tercipta.

Pertama. Saling memberi hadiah
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah bersabda:
“Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling cinta mencintai.” (HR. Bukhari dlm Adabul Mufrad, dihasankan oleh Syaikh al Albani)
Memberi hadiah merupakan salah satu bentuk perhatian seorang suami kepada istrinya, atau istri kepada suaminya. Terlebih bagi istri, hadiah dari suami mempunyai nilai yang sangat mengesankan. Hadiah tidak harus mahal, tetapi sebagai simbol perhatian suami kepada istri.
Seorang suami yang ketika pulang membawa sekedar oleh-oleh kesukaan istrinya, tentu akan membuat sang istri senang dan merasa mendapat perhatian. Dan seorang suami, semestinya lebih mengerti apa yang lebih disenangi oleh istrinya. Oleh karena itu, para suami hendaklah menunjukkan perhatian kepada istri, diungkapkan dengan memberi hadiah meski sederhana.

Kedua. Mengkhususkan waktu untuk duduk bersama
Jangan sampai antara suami istri sibuk dengan urusan masing-masing, dan tidak ada waktu untuk duduk bersama. Ada pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh bin Baaz. Ada seorang pemuda tidak memperlakukan istri dengan baik. Yang menjadi penyebabnya, karena ia sibuk menghabiskan waktunya untuk berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan studi dan lainnya, sehingga meninggalkan istri dan anak-anaknya dalam waktu lama. Masalah ini ditanyakan kepada Syaikh, apakah diperbolehkan sibuk menuntut ilmu dan sibuk beramal dengan resiko mengambil waktu yang seharusnya dikhususkan untuk isteri?
Syaikh bin Bazz menjawab pertanyaan ini. Beliau menyatakan, tidak ragu lagi, bahwa wajib atas suami untuk memperlakukan istrinya dengan baik berdasarkan firman Allah:
“Pergaulilah mereka dengan baik.” (QS. An Nisa’:19)
Juga sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam kepada Abdullah bin ‘Amr bin Ash, yaitu manakal sahabat ini sibuk dengan shalat malam dan sibuk dengan puasa, sehingga lupa dan lalai terhadap istrinya, maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berkata:
“Puasalah dan berbukalah. Tidur dan bangunlah. Puasalah sebulan selama tiga hari, karena sesungguhnya kebaikan itu memiliki sepuluh kali lipat. Sesungguhnya engkau memiliki kewajiban atas dirimu. Dirimu sendiri memiliki hak dan engkau juga mempunyai kewajiban terhadap isterimu, juga kepada tamumu. Maka, berikanlah haknya setiap orang yang memiliki hak.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Banyak hadits yang menunjukkan adanya kewajiabn agar suami memperlakukan isteri dengan baik. Oleh karena itu, para pemuda dan para suami hendaklah memperlakukan isteri dengan baik, berlemah lembut sesuai dengan kemampuan. Apabila memungkinkan untuk belajar dan menyelesaikan tugas-tugasnya di rumah, maka lakukanlah di rumah, sehingga disamping dia mendapatkan ilmu dan menyelesaikan tugas, dia juga dapat membuat isteri dan anak-anaknya senang. Kesimpulannya, adalah disyari’atkan atas suami mengkhususkan waktu-waktu tertentu, meluangkan waktu untuk isterinya, agar sang isteri merasa tentram, memperlakukan isterinya dengan baik; terlebih lagi apabila tidak memiliki anak.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluarganya. Dan saya adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam juga bersabda:
“Orang yang paling sempurna imannya adalah yang tebaik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap isteri-isteri kalian.” (HR. Tirmidzi)
Sebaliknya, seorang istri juga disyari’atkan untuk membantu suaminya, misalnya menyelesaikan tugas-tugas studi ataupun tugas kantor. Hendaklah dia bersabar apabila suaminya memiliki kekurangan karena kesibukannya, sehingga kurang memberikan waktu yang cukup kepada isterinya. Berdasarkan firman Allah, hendaklah antara suami dan istri saling bekerjasama :
“Tolong menolonglah kalian di atas kebaikan dan takwa.” (QS. Al Maidah :2)
Juga berdasarkan keumuman sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:
“Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya.” (Muttafaqun ‘alaihi, diterjemahkan dari buku Fatawa Islamiyyah)
Nasihat Syaikh bin Baaz tersebut ditujukan kepada kedua belah pihak. Kepada suami hendaklah benar-benar tidak sampai melalaikan, dan kepada istri pun untuk bisa bersabar dan memahami apabila suaminya sibuk bukan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Untuk para isteri, bisa juga mengoreksi diri mereka. Mungkin diantara sebab suami tidak kerasan di rumah karena memiliki isteri yang sering marah, selalu bermuka masam dan ketus apabila berbicara.

Ketiga. Menampakkan wajah yang ceria
Di antara cara untuk mempererat cinta kasih, hendaklah menampakkan wajah yang ceria. Ungkapan dengan bahasa wajah, mempunyai pengaruh yang besar dalam kegembiraan dan kesedihan seseorang. Seorang isteri akan senang jika suaminya berwajah ceria, tidak cemberut. Secara umum Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Sedikit pun janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik, meskipun ketika berjumpa dengan saudaramu engkau menampakkan wajah ceria.” (HR. Muslim)
Begitu pula sebaliknya, ketika suami datang, seorang isteri jangan sampai menunjukkan wajah cemberut atau marah. Meskipun demikian, hendaknya seorang suami juga bisa memahami kondisi isteri secara kejiwaan. Misalnya, isteri yang sedang haidh atau nifas, terkadang melakukan tindakan yang menjengkelkan. Maka seorang suami hendaklah bersabar. Ada pertanyaan dari seorangb isteri yang disampaiakan kepada Syaikh bin Baaz, sebagai berikut:
Suami saya-semoga Allah memaafkan dia-, meskipun dia berpegang teguh dengan agama dan memiliki akhlak yang tinggi serta takut kepada Allah, tetapi dia tidak memiliki perhatian kepada saya sedikitpun. Jka di rumah, ia selalu berwajah cemberut, sempit dadanya dan terkadang dia mengatakan bahwa sayalah penyebab masalahnya. Tetapi Allah lah yang mengetahui bahwa saya-alhamdulillah-telah melaksanakan hak-haknya. Yakni menjalankan kewajiban saya sebagai isteri. Saya berusaha semaksimal mungkin dapat memberikan ketenangan kepada suami dan menjauhkan segala hal yang membuatnya tidak suka. Saya selalu sabar atas tindakan-tindakannya terhadap saya.
Setiap saya bertanya sesuatu kepadanya, dia selalu marah, dan dia mengatakan bahwa ucapan saya tidak bermanfaat dan kampungan. Padahal perlu diketahui, jika kepada teman-temannya, suami saya tersebut termasuk murah senyum. Sedangkan terhadap saya, ia tidak pernah tersenyum; yang ada hanyalah celaan dan perlakuan buruk. Hal ini menyakitkan dan saya merasa sering tersiksa dengan perbuatannya. Saya ragu-ragu dan beberapa kali berpikir untuk meninggalkan rumah.
Wahai Syaikh, apabila saya meninggalkan rumah dan mendidik sendiri anak-anak saya dan berusaha mencari pekerjaan untuk membiayai anak-anak saya sendiri, apakah saya berdosa? Ataukah saya harus tetap tinggal bersama suami dalam keadaan seperti ini, (yaitu) jarang berbicara dengan suami, (ia) tidak bekerja sama dan tidak merasakan problem saya ini?
Di jawab oleh Syaikh bin Baaz: “Tidak diragukan lagi, bahwa kewajiban atas suami isteri ialah bergaul dengan baik dan saling menampakkan wajah penuh dengan kecintaan. Dan hendaklah berakhlak dengan akhlak yang mulia, (yakni) dengan menampakkan wajah ceria, berdasarkan firman Allah:
“Pergaulilah mereka dengan baik.” (QS. An Nisa:19)
Juga dalam surat Al Baqarah ayat 228:
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isteri.” (QS. Al Baqarah :228)
Arti kelebihan disini, secara umum laki-laki lebih unggul daripada wanita. Tetapi nilai-nilai yang ada pada setiap individu di sisi Allah, tidak berarti laki-laki pasti derajatnya lebih tinggi. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Dan berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:
“Kebaikan itu adalah akhlak yang baik.” (HR. Muslim)
Dan berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:
“Sedikitpun janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik, meskipun ketika berjumpa dengan saudaramu engkau menampakkan wajah ceria.” (HR. Muslim)
Juga berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam:
“Orang yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap isteri-isteri kalian.” (HR. Tirmidzi)
Ini semua menunjukkan, bahwa motivasi berakhlak yang baik dan menampakkan wajah ceria pada saat bertemu serta bergaul dengan baik kepada kaum Muslimin, berlaku secara umum; terlebih lagi kepada suami atau isteri dan kerabat. Oleh karena itu, engkau telah berbuat baik dalam hal kesabaran dan ketabahan atas penderitaanmu, yaitu menghadapi kekasaran dan keburukan suamimu. Saya berwasiat kepada dirimu untuk terus meningkatkan kesabaran dan tidak meninggalkan rumah di karenakan hal itu. Insya Allah akan mendatangkan kebaikan yang banyak. Dan akibat yang baik, insya Allah diberikan kepada orang-orang yang sabar. Banyak ayat yang menunjukkan, barangsiapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya balasan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa. Dan sesungguhnya Allah akan memberi ganjaran yang besar tanpa hisab kepada orang-orang yang sabar.
Tidak ada halangan dan rintangan untuk bercanda dan bergurau, serta mengajak bicara suami dengan ucapan-ucapan yang dapat melunakkan hatinya, dan yang dapat menyebabkan lapang dadanya dan menumbuhkan kesadaran akan hak-hakmu. Tinggalkanlah tuntutan-tuntutan kebutuhan dunia (yang tidak pokok) selama sang suami melaksanakan kewajiban dengan memberikan nafkah dari kebutuhan-kebutuhan pokok, sehingga ia menjadi lapang dada dan hatinya tenang. Engkau akan merasakan balasan yang baik, insya Allah. Semoga Allah memberikan taufik kepada dirimu untuk mendapatkan kebaikan dan memperbaiki keadaan suamimu. Semoga Allah membimbingnya kepada kebaikan dan memperbaiki akhlaknya. Semoga Allah membimbingnya untuk dapat bermuka ceria dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada isterinya dengan baik. Sesungguhnya, Allah adalah sebaik-baik yang diminta, dan Dia adalah pemberi hidayah kepada jalan yang lurus. (Dinukil dari buku Fatawa Islamiyyah).
Ini menunjukkan, bahwa seorang wanita diperbolehkan untuk mengeluh dan menyampaikan problemnya kepada orang yang alim, atau orang yang dianggap bisa menyelesaikan masalahnya. Hal ini tidak sama dengan sebagian wanita yang sering, atau suka menceritakan rahasia rumah tangganya, termasuk kelemahan dan keburukan suaminya kepada orang lain, tanpa bermaksud menyelesaikan masalahnya.
Sehubungan dengan permasalahan ini, Syaikh Utsaimin mengatakan, bahwa apa yang disampaikan oleh sebagian wanita yang menceritakan keadaan rumah tangganya kepada kerabatnya, bisa jadi (kepada) orang tua isteri atau kakak perempuannya, atau kerabat yang lainnya, bahkan kepada teman-temannya, (hukumnya) adalah diharamkan. Tidak halal bagi seorang wanita membuka rahasia rumah tangganya dan keadaan suaminya kepada seorangpun. Karena seorang wanita yang shalihah adalah yang bisa menjaga dan memelihara kedudukanmartabat suaminya. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah memberitakan, seburuk-buruk manusia kedudukannya disisi Allah pada hari Kiamat ialah seorang laki-laki yang suka menceritakan keburukan isterinya atau seorang wanita yang menceritakan keburukan suaminya.
Meski demikian, jangan dipahami bahwa secara mutlak seorang wanita tidak boleh menceritakan keburukan seorang suami. Karena, pada masa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pun ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan berkata: “Ya, Rasulullah. Suami saya adalah orang yang kikir, tidak memberi nafkah yang cukup bagi saya. Bolehkah saya mengambil darinya tanpa sepengetahuannya untuk sekedar mencukupi kebutuhan saya dan anak saya?”
Mendengar penuturan orang ini, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjawab:
“Ambillah nominal yang mencukupi kebutuhanmu dan anakmu.” (Muttafaqun ‘alaih)

Keempat. Memberikan penghormatan dengan hangat kepada pasangannya
Memberikan penghormatan dengan hangat kepada pasangannya, baik ketika hendak pergi keluar rumah ataupun ketika pulang. Penghormatan itu hendaklah dilakukan dengan mesra. Dalam beberapa hadits diriwayatkan, ketika hendak pergi shalat, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mencium isterinya tanpa berwudhu lagi dan langsung shalat. Ini menunjukkan, bahwa mencium isteri dapat mempererat hubungan antara suami isteri, meluluhkan kebekuan ataupun kekakuan antara suami isteri. Tentunya dengan melihat situasi, jangan dilakukan di hadapan anak-anak.
Perbuatan sebagian orang ketika seorang isteri menjemput suaminya yang datang dari luar kota atau dari luar negeri, ia mencium pipi kanan dan pipi kiri di tempat umum. Demikian ini tidak tepat. Memberikan penghormatan dengan hangat tidak mesti dengan mencium pasangannya. Misalnya, seorang suami dapat memanggil isterinya dengan baik, tidak menjelek-jelekkan keluarganya, tidak menegur isterinya dihadapan anak-anak mereka. Atau seorang isteri, bila melakukan penghormatan dengan menyambut kedatangan suaminya di depan pintu. Apabila suami hendak bepergian, isteri menyiapkan pakaian yang telah disetrika dan dimasukkannya ke dalam tas dengan rapi.
Suami hendaknya menghormati isterinya dengan mendengarkan ucapan isteri secara seksama. Sebab terkadang, ada sebagian suami, jika isterinya berbicara, ia justru sibuk dengan handphonenya mengirim sms atau sambl membaca Koran. Dia tidak serius mendengarkan ucapan isterinya. Dan jika menanggapinya, hanya dengan kata-kata singkat. Jika isteri mengeluh, suami mengatakan “hal seperti ini saja dipikirkan!”
Meskipun sepele atau ringan, tetapi hendaklah suami menanggapinya dengan serius, karena bagi isteri mungkin merupakan masalah yang besar dan berat.

Kelima. Hendaklah memuji pasangannya
Di antara kebutuhan manusia adalah keinginan untuk di puji- dalam batas- yang wajar. Dalam masalah pujian ini, para ulama telah menjelaskan, bahwa pujian diperbolehkan atau bahkan dianjurkan dengan syarat-syarat: untuk memberikan motivasi, pujian itu diungkapkan dengan jujur dan tulus, dan pujian itu tidak menyebabkan orang yang dipuji menjadi sombong atau lupa diri.
Abu Bakar As Siddiq radhiallahu amhu pernah di puji, dan dia berdoa kepada Allah: “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku dengan apa yang mereka ucapkan. Jangan jadikan dosa bagiku dengan pujian mereka, jangan timbulkan sifat sombong. Jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangka, dan ampunilah aku atas perbuatan-perbuatan dosa yang mereka tidak ketahui.”
Perkataan ini juga di ucapkan oleh Syaikh Al Albani ketika beliau di puji-puji oleh seseorang dihadapan manusia. Beliau rahimahullah menangis dan mengucapkan perkataan Abu Bakar tersebut serta mengatakan: “Saya ini hanyalah penuntut ilmu saja”.
Seorang isteri senang pujian dari suaminya, khususnya dihadapan orang lain, seperti keluarga suami atau isteri. Dia tidak suka jika suami menyebutkan aibnya, khususnya dihadapan orang lain. Jika masakan isteri kurang sedap jangan dicela.

Keenam. Bersama-sama melakukan tugas yang ringan
Di antara kesalahan sebagian suami ialah, mereka menolak untuk melakukan sebagian tugas di rumah. Mereka mempunyai anggapan, jika melakukan tugas di rumah, berarti mengurangi kedudukannya, menurunkan atau menjatuhkan kewibawaannya di hadapan sang isteri. Pendapat ini tidak benar.
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam melakukan tugas-tugas di rumah, seperti menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki sandalnya dan melakukan tugas-tugas di rumah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan terdapat dalam Jami’ush Shaghir. Terlebih lagi dalam keadaan darurat, seperti isteri sedang sakit setelah melahirkan. Terkadang isteri dalam keadaan repot, maka suami bisa meringankan beban isteri dengan memandikan anak atau menyuapi anak-anaknya. Hal ini disamping menyenangkan isteri, juga dapat menguatkan ikatan yang lebih erat lagi antara ayah dan anak-anaknya.

Ketujuh. Ucapan yang baik
Kalimat yang baik adalah kalimat-kalimat yang menyenangkan. Hendaklah menghindari kalimat-kalimat yang tidak menyenangkan, bahkan menyakitkan. Seorang suami yang menegur isterinya karena tidak berhias, tidak mempercantik diri dengan celak dimata, harus dengan ucapa yang baik. (Nasihat untuk akhwat yg berkeluarga atau ibu-ibu. Hendaknya wanita mempercantik diri dan berhias untuk suaminya. Yang terjadi, umumnya berdandan dan mempercantik diri kalau mau keluar rumah, atau kalau ada walimah, misalnya. Sedangkan di rumah, ia enggan mempercantik diri dan tampil seadanya. Padahal berdandan dan mempercantik diri untuk keluar rumah hukumnya haram.)
Misalnya dengan perkataan “Mengapa engkau tidak memakai celak?” Isteri menjawab dengan kalimat yang menyenangkan: “Kalau aku memakai celak, akan mengganggu mataku untuk melihat wajahmu”.
Perkataan yang demikian menunjukkan ungkapan perasaan cinta isteri kepada suami. Ketika ditegur, ia menjawab dengan kalimat yang menyenangkan. Berbeda dengan kasus lain. Saat suami isteri berjalan-jalan di bawah bulan pernama, suami bertanya:”Tahukah engkau bulan purnama di atas?” Mendengar pertanyaan ini, sang isteri menjawab:”Apakah engkau lihat aku buta?”

Kedelapan. Perlu berekreasi berdua tanpa membawa anak
Rutinitas pekerjaan suami di luar rumah dan pekerjaan isteri di rumah membuat suasana menjadi keruh. Sekali-kali diperlukan suasana lain dengan cara pergi berdua tanpa membawa anak. Hal ini sangat penting, karena bisa memperbaharui cinta suami isteri. Kita mempunyai anak, lantas bagaimana caranya? Ini memang sebuah problem. Kita cari solusinya, jangan menyerah begitu saja.
Bukan berarti setelah mempunyai anak banyak tidak bisa pergi berdua. Tidak! kita bisa meminta tolong kepada saudara, kerabat ataupun tetangga untuk menjaga anak-anak, lalu kita dapat pergi bersilaturahmi atau belanja ke toko dan lain sebagainya. Kemudian pada kesempatan lainnya, kita pergi berekreasi membawa isteri dan anak-anak.
Kesembilan. Hendaklah memiliki rasa empati pada pasangannya
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Perumpamaan kaum mukminan antara satu dengan yang lainnya itu seperti satu tubuh. Apabila ada satu anggota tubuh yang sakit, maka anggota tubuh yang lain pun ikut merasakannya sebagai orang yang tidak dapat tidur dan orang yang terkena penyakit demam.” (HR. Muslim)
Ini berlaku secara umum kepada semua kaum muslimin. Rasa empati harus ada. Yaitu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, termasuk kepada isteri atau suami. Jangan sampai suami sakit, terbaring ditempat tidur, isteri tertawa-tawa disampingnya, bergurau, bercanda. Begitu pula sebaliknya, jangan sampai karena kesibukan, suami kemudian kurang merasakan apa yang dirasakan oleh isteri.
Kesepuluh. Perlu adanya keterbukaan
Keterbukaan antara suami dan isteri sangat penting. Di antara problem yang timbul di keluarga, lantaran antara suami dan isteri masing-masing menutup diri, tidak terbuka menyampaikan problemnya kepada pasangannya. Yang akhirnya kian menumpuk. Pada gilirannya menjadi lebih besar, sampai akhirnya meledak.
Inilah sepuluh tips untuk merekatkan hubungan suami isteri, sehingga biduk rumah tangga tetap harmonis dan tentram. Semoga bermanfaat, menjadi bekal keharmonisan keluarga.
Dikutip dari Majalah As Sunnah Edisi Khusus 7&8 Thn IX/1


Coaching Materi Ta'rifiyah

Posted by Lembaga Muslimah DPC Wahdah Islamiyah Bandung On Minggu, 30 Januari 2011 0 komentar

Alhamdulillah, pada hari Sabtu, 29 Januari 2011, Departemen Dakwah & Kaderisasi DPC Wahdah Islamiyah Bandung, telah menyelenggarakan 'Coaching Materi Ta'rifiyah', bertempat di Masjid Nur Madinah, Jalan Asri Ciparumpung no 02 Rt 07/07, Padasuka Cimenyan Bandung.

Acara ini diikuti oleh seluruh murabbi & murabbiyah serta calon murabbi/yah DPC Wahdah Bandung. Dan diisi oleh beberapa ustadz diantaranya ustadz Wawan Kurniawan, Ust. Rahmat Sutiman, serta Ust. Rusmin dari Jogja.

Acara ini bertujuan untuk memberikan pendalaman materi bagi para murabbi & murabbiyah, sekaligus pembentukan Korps Da'i & Murabbi/yah (KDM). Selain itu juga dalam rangka menyukseskan program SKS, yang nantinya diharapkan dari hasil coaching materi ini akan menghasilkan halaqah-halaqah tarbiyah dengan jumlah yang semakin meningkat.[nk]


Pelatihan Al Qur'an dan Bahasa Arab

Posted by Lembaga Muslimah DPC Wahdah Islamiyah Bandung On Minggu, 23 Januari 2011 1 komentar

Dalam rangka turut menyebarkan  Islam dan usaha untuk mendekatkan ummat ini kepada Al Quran dan As sunnah, maka kami memandang perlunya menyebarluaskan Al Quran dan bahasa Arab ini “hingga memasuki setiap rumah”.  Namun, kita sering mendengar pula banyaknya kaum muslimiin yang ingin mempelajari Al Quran dan bahasa Arab tetapi tidak tahu bagaimana memulainya atau banyak yang telah belajar dan menghafal bahasa ini namun akhirnya merasa gagal, bahkan banyak pula yang “takut” memulai belajar karena memandangnya sulit.Untuk sebab-sebab itulah maka Al Yusr0 mencoba menghadirkan cara belajar Al Quran dan bahasa Arab dengan mudah dan menyenangkan. Secara teknis, program ini telah berjalan di Bandung lebih dari 3 tahun, maka metode yang di gunakan telah teruji dan mendapat perbaikan disana sini.
Kami, Al Yusro menawarkan beberapa program kepada antum sekalian yang berdomisili di Bandung dan ingin mempelajari Al-Quran dan Bahasa Arab. program tersebut yaitu:
untuk informasi lebih lanjut dan pendaftaran :
Sekertariat Al Yusra  : Jl. Asri ciparumpung No. 02 Rt 07/07 Padasuka Cicaheum Bandung 40192 telp. 7279987 (khusus pada jam kerja selain waktu shalat)
CP :   Rahmat Tena (022 9289 9396)
http://al-yusro.blogspot.com/p/pendaftaran.html


Kiat Pendidikan Islami Sejak Dini pada Anak

Posted by Lembaga Muslimah DPC Wahdah Islamiyah Bandung On Minggu, 26 Desember 2010 0 komentar

Anak adalah amanah yang diberikan Allah Swt pada para orang tua. Karenanya, orang tua berkewajiban mengasuh, mendidik, melindungi dan menjaga amanah Allah itu agar menjadi generasi muslim yang bukan hanya sukses di dunia, tapi juga di akhirat kelak.

Dalam keseharian, para ibulah yang memegang peranan penting dalam pengasuhan dan pendidikan putra-putrinya. Pernahkah para ibu merenungkan sejauh mana peranan yang mereka mainkan akan berpengaruh dalam perjalanan hidup si anak? Kita semua tahu bahwa semua perbuatan manusia selama di dunia dicatat dalam sebuah buku yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt. Begitu pula anak-anak kita kelak, dan isi catatan buku mereka selama di dunia sangat tergantung dengan bagaimana cara kita mendidik mereka, apakah kita menerapkan pola pengasuhan dan pendidikan yang cukup Islami.

Sebagai contoh, apakah anak-anak kita sekarang sudah memahami tentang hubungannya dengan Sang Pencipta? Nasehat apa yang akan kita berikan pada anak-anak ketika kita menjelang ajal, sehingga ketika kita dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt tentang anak-anak kita, kita mampu menjawab, "Ya Allah, aku membesarkan anak-anakku dengan ihsan (sempurna) semampu yang saya bisa, agar taat dan tunduk pada ajaran-Mu."
Di tengah perkembangan zaman seperti sekarang ini. Tugas mendidik, menjaga dan melindungi anak dari pengaruh buruk arus globalisasi dan modernisasi, bukan perkara yang ringan. Bekal pendidikan dari sekolah berkualitas, menanamkan rasa tanggung jawab dan disiplin serta moral tidak cukup, jika tidak diimbangi dengan bekal pendidikan agama yang baik.
Bekal pendidikan rohani yang harus para ibu tanamkan sejak dini adalah membangun keyakinan yang kuat dalam hati mereka tentang ke-esa-an Allah Swt, mengajarkan rasa cinta yang besar pada Nabi Muhammad Saw dan mengajarkan mereka nilai-nilai serta ketrampilan yang akan bermanfaat bagi kehidupan mereka saat dewasa nanti.

Sejak dini, tanamkan pada diri anak-anak tentang konsep Tiada tuhan Selain Allah. Allah tidak ada sekutu bagi-Nya dan tidak ada yang menyerupai-Nya. Selalu mengingatkan pada anak-anak bahwa Allah Mahatahu apa yang ada di bumi dan di langit, agar anak-anak selalu menjaga ucapan dan tindakannya. Beritahukan pada anak-anak, apa sesungguhnya tujuan hidup ini dan arahkan mereka agar tetap fokus dan memiliki visi yang jelas tentang konsep hidup.

Itulah tantangan bagi para ibu untuk menghasilkan generas-generasi muslim yang hebat dan bermanfaat bagi umat. Generasi yang tidak hanya cerdas intelektual tapi juga cerdas dari sisi sosial, emosi dan spiritual. Tentu saja untuk melakukan itu semua, para ibu harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk mendidik dan berinteraksi dengan anak-anak. Tips-tips berikut bisa menjadi acuan bagi para ibu dalam menerapkan pola asuh dan pendidikan bagi anak-anak di rumah, agar menjadi generasi yang Islami:
1. Setiap anak itu unik
Kita harus memahami bahwa setiap anak terlahir unik. Pahami bahwa setiap anak lahir sebagai individu yang mewirisi kualitas kepribadian yang berada di luar kendali orang tua. Itulah sebabnya, orang tua harus mampu mengidentifikasi karakteristik yang unik dan perilaku anak-anak kita, tanpa harus mencetak dan mendorong anak-anak ke arah yang orang tua sukai. Jika kita memahami hal ini, kita akan memberikan pengasuhan, bimbingan dan dukungan yang anak-anak butuhkan untuk melengkapi potensi yang telah Allah berikan pada mereka.
2. Membangun dan menanamkan tentang kasih sayang Allah Swt pada anak-anak
Allah Swt berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka" (Surat At-Tahrim;6). Tanamkan pada anak-anak bahwa tentang kecintaan dan keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi adalah atas kehendak Allah. Ajarkan mereka selalu mengucapkan "La illaha illah Allah; jika anak meminta sesuatu, katakan pada mereka untuk berdoa, meminta pada Allah karena Allah yang memiliki segala sesuatu. Ajarkan kecintaan pada Allah saat santai dan berbincang-bincang dengan anak, agar mereka mudah memahami mengapa manusia beribadah, harus taat dan melaksanakan ajaran-Nya.
3. Salat
Rasulullah Saw berkata, "Ajarilah anak-anakmu salat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan ketika mereka berusia sepuluh tahun, hukumlah jika mereka melalaikan salat.". Orang tua harus membiasakan mengajak anak salat tepat waktu. Jadikah salat berjamaah sebagai kebiasaan dalam keluarga, bahkan jika anak masih di bawah umur, tak ada salahnya selalu mengajak mereka salat. Jika kewajiban salat sudah melekat kuat dalam diri anak, maka anak-anak akan terlatih untuk salat dengan khusyuk.
4. Kegiatan Sosial
Ajaklah anak-anak sesering mungkin untuk melakukan aktivitas sosial, berjalan-jalan ke taman, berkunjung ke kebun binatang atau museum, belajar berenang, bertaman, mengamati matahari tenggelam, dan kegiatan lainnya. Sebisa mungkin, jauhkan anak dari kebiasaan nonton tv dan isi waktu luang mereka dengan aktivitas fisik, misalnya melakukan olahraga yang mereka sukai.
5. Berkumpul dengan Keluarga
Biasakan berkumpul dengan seluruh keluarga, mendiskusikan berbagai isu yang merangsang semua anggota keluarga mengemukakan pendapatnya. Kebiasaan ini melatih rasa percaya diri anak dan kemampuannya bicara di muka umum dan akan mengakrabkan sesama anggota keluarga. Kebiasaan berkumpul ini juga bisa dilakukan dengan cara memainkan permainan yang melibatkan seluruh anggota keluarga atau memanfaatkan waktu makan, dengan membiasakan makan bersama.
6. Membangun kesadaran pada anak-anak akan pentingnya kebersihan dan menjaga lingkungan hidup
Kesadaran ini harus dimulai dari rumah sendiri, dengan melibatkan anak-anak dalam urusan pekerjaan rumah. Mintalah anak memilih pekerjaan rumah apa yang bisa ia lakukan, apakah menyapu, mengepel, mencuci piring, untuk membantu meringankan tugas ibu di rumah.
7 Komunikasi
Komunikasi adalah ketrampilan yang paling penting yang akan dipelajari anak-anak. Bicaralah pada anak sesuai dengan tingkat pemahaman anak. Rasulullah Saw mencontohkan, saat bicara dengan anak-anak menggunakan bahasa yang sederhana dan jelas sehingga anak-anak mau mendengarkan dan bisa memahami apa yang disampaikan.
8. Disiplin
Kita tahu bahwa disiplin dan pengendalian diri merupakan karakter utama seorang muslim. Kita belajar dan melatih diri tentang kedisiplinan dan pengendalian diri melalui ibadah puasa dan perintah Allah itu menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang dalam Islam. Orang tua harus menjelaskan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak-anak, dan apa konsekuensinya jika hal itu dilanggar. Tentu saja larangan itu dalam batas-batas yang wajar. Misalnya, orang tua tidak melarang anak nonton tv sama sekali, tapi memberi batasan berapa lama anak boleh nonton televisi, misalnya cuma 30 menit. Orang tua juga harus menepati janji jika menjajikan sesuatu pada anak, karena jika tidak, anak akan menganggap orang tuanya tidak bisa dipercaya.
9. Rutin
Membiasakan anak-anak melakukan tugas-tugasnya dengan rutin, misalnya salat tepat waktu, membaca dan menghapal Al-Quran, membaca hadis, membiasakan membaca doa-doa Rasulullah sebelum tidur, beramal meski cuma dengan senyum, dan kebiasaan lainnya yang akan menjadi kegiatan rutin bagi anak kelak.
10. Memberikan Teladan yang baik
Rasulullah Saw. adalah teladan terbaik bagi kaum Muslimin. Bacakanlah kisah-kisah tentang Rasulullah Saw, pada anak-anak agar anak-anak mengikuti Sunah-Sunahnya dengan rasa cinta. Bacakan pula kisah-kisah tentang para nabi, sahabat-sahabat Nabi, dan pahlawan-pahlawan dalam sejarah Islam sehingga tumbuh rasa cinta anak pada Islam.
11. Melakukan perjalanan yang menyenangkan
Perjalanan yang menyenangkan bersama keluarga tidak harus selalu mengunjungi tempat-tempat wisata, tapi bisa juga mengunjugi masjid-masjid lokal. Kunjungan ke masjid sekaligus mengajarkan anak tentang bagaimana etika berada di dalam masjid dan menumbuhkan rasa cinta pada masjid, terutama bagi anak lelaki. Selain masjid, ajaklah mereka berkunjung ke tempat-tempat bersejarah Islam agar mereka tahu warisan-warisan budaya dan sejarah Islam.
Tips-tips di atas cuma menjadi acuan bagi para orang tua, khususnya para ibu untuk menanamkan pendidikan yang Islami sejak usia dini. Tentu saja ikhtiar ini harus didukung oleh doa orang tua yang tak putus-putus untuk anak-anak mereka, agar harapan akan anak-anak yang bertakwa pada Allah Swt terkabul. (ln/Khafayah Abdulsalam-ProdMuslim)


Mengucapkan Selamat Natal Dianggap Amalan Baik?

Posted by Lembaga Muslimah DPC Wahdah Islamiyah Bandung On Jumat, 24 Desember 2010 0 komentar

Oleh Muhammad Abduh Tuasikal
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.
Ucapan selamat natal sejak beberapa tahun ini menjadi kontroversi. Sebagian kalangan membolehkan kaum muslimin untuk mengucapkan selamat natal pada nashrani karena dianggap sebagai bentuk ihsan (berbuat baik). Dalil yang digunakan dalam membolehkan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah [60] : 8).
Inilah di antara alasan untuk melegalkan mengucapkan selamat natal pada orang nashrani. Mereka memang membawakan dalil, namun apakah pemahaman yang mereka utarakan itu membenarkan mengucapkan selamat natal?
Semoga Allah menolong kami untuk menyingkap tabir manakah yang benar dan manakah yang keliru. Hanya Allah yang beri pertolongan.

Sebab Turun Ayat
Untuk siapa sebab diturunkannya ayat di atas? Dalam hal ini ada beberapa pendapat di kalangan ahli tafsir [1]. Di antara pendapat tersebut adalah yang menyatakan bahwa ayat ini turun pada Asma’ binti Abi Bakr —radhiyallahu ‘anhuma—, di mana ibundanya —Qotilah binti ‘Abdil ‘Uzza— yang musyrik [2] dan ia diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap menjalin hubungan dengan ibunya. Ini adalah pendapat dari ‘Abdullah bin Az Zubair. [3]
Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya “Menjalin hubungan dengan orang tua yang musyrik”. Kemudian beliau membawakan riwayat berikut, Asma’ mengatakan,
“Ibuku mendatangiku dan ia sangat ingin aku menyambung hubungan dengannya4. Kemudian aku menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bolehkah aku tetap menjalin hubungan dengannya? Beliau pun menjawab, “Iya boleh”.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa setelah itu Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama.” (QS. Al Mumtahanah [60] : 8)” [5]

Makna Ayat
Ibnu Jarir Ath Thobari —rahimahullah— mengatakan, “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik, menjalin hubungan dan berbuat adil dengan setiap orang dari agama lain yang tidak memerangi kalian dalam agama. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu”. Setiap orang yang mempunyai sifat dalam ayat ini patut bagi kita berlaku ihsan (baik) padanya. Tidak ada yang dispesialkan dari yang lainnya.” [6]
Ibnu Katsir —rahimahullah— menjelaskan, “Allah tidak melarang kalian berbuat ihsan (baik) terhadap orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin dalam agama dan juga tidak menolong mengeluarkan wanita dan orang-orang lemah, yaitu Allah tidak larang untuk berbuat baik dan berbuat adil kepada mereka. Karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.” [7]

Loyal (Wala’) pada Orang Kafir itu Terlarang
Wala’ (loyal) tidaklah sama dengan berlaku ihsan (baik). Wala’ secara istilah bermakna menolong, memuliakan dan loyal dengan orang yang dicintai. [8] Sehingga wala’ (loyal) pada orang kafir akan menimbulkan rasa cinta dan kasih sayang dengan mereka dan agama yang mereka anut. Larangan loyal terhadap orang kafir ini sudah diajarkan oleh kekasih Allah —Nabi Ibrahim ‘alaihis salam— dan kita pun selaku umat Islam diperintahkan untuk mengikuti jalan beliau. Allah Ta’ala berfirman,
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja."(QS. Al Mumtahanah [60] : 4)
Di samping ini adalah ajaran Nabi Ibrahim, larangan loyal (wala’) pada orang kafir juga termasuk ajaran Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah [5] : 51)
Bahkan Ibnu Hazm telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa loyal (wala’) pada orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan. [9]

Perlu Dibedakan antara Ihsan (Berbuat Baik) dan Wala’ (Loyal)
Perlu kiranya dipahami bahwa birr atau ihsan (berbuat baik) itu jauh berbeda dengan wala’ (bersikap loyal). Ihsan adalah sesuatu yang dituntunkan. Ihsan itu diperbolehkan baik pada muslim maupun orang kafir. Sedangkan bersikap wala’ pada orang kafir tidak diperkenankan sama sekali.
Fakhruddin Ar Rozi —rahimahullah— mengatakan, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik (birr) kepada mereka (orang kafir). Namun yang Allah larang bagi kalian adalah loyal (wala’) pada mereka. Inilah bentuk rahmat pada mereka, padahal ada permusuhan sengit dengan kaum muslimin. Para pakar tafsir menjelaskan bahwa boleh kaum muslimin berbuat baik (birr) dengan orang musyrik. Namun dalam hal loyal (wala’) pada mereka itu tidak dibolehkan.” [10]
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Berbuat baik, menyambung hubungan kerabat dan berbuat ihsan (terhadap non muslim) tidaklah melazimkan rasa cinta dan rasa sayang (yang terlarang) padanya. Sebagaiman rasa cinta yang terlarang ini disebutkan dalam firman Allah,
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya” (QS. Al Mujadilah [58] : 22). Ayat ini umum berlaku pada orang yang sedang memerangi dan orang yang tidak memerangi kaum muslimin. Wallahu a’lam. [11]
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi menjelaskan dalam kitab tafsirnya, “Berbuat baik dan berlaku adil tidaklah melazimkan rasa cinta dan kasih sayang pada orang kafir. Seperti contohnya adalah seorang anak tetap berbakti dan berbuat baik pada orang tuanya yang kafir, namun ia tetap membenci agama yang orang tuanya anut.” [12]

Contoh Berbuat Ihsan pada Non Muslim
Pertama: Memberi hadiah kepada saudara non muslim agar membuat ia tertarik pada Islam.
Dari Ibnu ‘Umar —radhiyallahu ‘anhuma—, beliau berkata, “Umar pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada hari Jum’at dan ketika ada tamu yang mendatangimu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Sesungguhnya yang mengenakan pakaian semacam ini tidak akan mendapatkan bagian sedikit pun di akhirat.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan beberapa pakaian dan beliau pun memberikan sebagiannya pada ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Mengapa aku diperbolehkan memakainya sedangkan engkau tadi mengatakan bahwa mengenakan pakaian seperti ini tidak akan dapat bagian di akhirat?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau bisa mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka engkau jual saja atau tetap mengenakannya.” Kemudian ‘Umar menyerahkan pakaian tersebut kepada saudaranya [13] di Makkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam. [14]
Kedua: Menjalin hubungan dan berbuat baik dengan orang tua dan kerabat non muslim.
Dari Asma’ binti Abu Bakr —radhiyallahu ‘anhuma—, ia berkata, “Ibuku mendatangiku, padahal ia seorang musyrik di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian aku ingin meminta nasehat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata, “Sesungguhnya ibuku mendatangiku, padahal ia sangat benci Islam. Apakah aku boleh tetap menyambung hubungan kerabat dengan ibuku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya boleh. Silakan engkau tetap menjalin hubungan dengannya.” [15]
Allah melarang memutuskan silaturahim dengan orang tua atau kerabat yang non muslim dan Allah tetap menuntunkan agar hak mereka sebagai kerabat dipenuhi walaupun mereka kafir. Jadi, kekafiran tidaklah memutuskan hak mereka sebagai kerabat. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman [31] : 15)
“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi.” (QS. An Nisa [4] : 1)
Jubair bin Muth’im berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, .
“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahmi (dengan kerabat).” [16]
Oleh karenanya, silaturahim dengan kerabat tetaplah wajib, walaupun kerabat tersebut kafir. Jadi, orang yang mempunyai kewajiban memberi nafkah tetap memberi nafkah pada orang yang ditanggung walaupun itu non muslim. Karena memberi nafkah adalah bagian dari bentuk menjalin silaturahim. Sedangkan dalam masalah waris tidak diperkenankan sama sekali. Karena seorang muslim tidaklah mewariskan hartanya pada orang kafir. Begitu pula sebaliknya. Karena warisan dibangun di atas sikap ingin menolong (nushroh) dan loyal (wala’). [17]
Ketiga: Berbuat baik kepada tetangga walaupun non muslim.
Al Bukhari membawakan sebuah bab dalam Adabul Mufrod dengan ”Bab Tetangga Yahudi”dan beliau membawakan riwayat berikut. Mujahid berkata, "Saya pernah berada di sisi Abdullah ibnu 'Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata, ! ”Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu.” Lalu ada salah seorang yang berkata, .! "(Anda memberikan sesuatu) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisi anda.”
”Abdullah bin ’Amru lalu berkata,
'Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.” [18]

Perkara yang Termasuk Loyal pada Orang Kafir dan Dinilai Haram [19]
Pertama: Mencintai orang kafir dan menjadikan mereka teman dekat. Allah Ta’ala berfirman,
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah [58] : 22).
Wajib bagi setiap muslim memiliki rasa benci pada setiap orang kafir dan musyrik karena mereka adalah orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Dikecualikan di sini adalah cinta yang bersifat tabi’at seperti kecintaan seorang anak kepada orang tuanya yang musyrik. Cinta seperti ini dibolehkan.
Kedua: Menetap di negeri kafir. Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, "Dalam keadaan bagaimana kamu ini ?". Mereka menjawab, "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu ?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak- anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah mema'afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (QS. An Nisa’ [4] : 97- 98)
Ada dua rincian yang mesti diperhatikan:
  1. Jika orang kafir yang baru masuk Islam, lalu tinggal di negeri kafir dan tidak mampu menampakkan keislaman (seperti mentauhidkan Allah, melaksanakan shalat, dan berjilbab –bagi wanita-) dan ia mampu berhijrah, maka saat itu ia wajib berhijrah ke negeri kaum muslimin. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan tidak boleh muslim tersebut menetap di negeri kafir kecuali dalam keadaan darurat.
  2. Jika muslim yang tinggal di negeri kafir masih mampu menampakkan keislamannya, maka berhijrah ke negeri kaum muslimin pada saat ini menjadi mustahab (dianjurkan). Begitu pula dianjurkan ia menetap di negeri kafir tersebut karena ada maslahat untuk mendakwahi orang lain kepada Islam yang benar.
Ketiga: Diharamkan bepergian ke negeri kafir tanpa ada hajat. Namun jika ada maslahat (seperti untuk berobat, berdakwah, dan berdagang), maka ini dibolehkan asalkan memenuhi tiga syarat berikut:
  1. Memiliki bekal ilmu agama yang kuat sehingga dapat menjaga dirinya.
  2. Merasa dirinya aman dari hal-hal yang dapat merusak agama dan akhlaqnya.
  3. Mampu menampakkan syi’ar-syi’ar Islam pada dirinya.
Keempat: Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’). [20] Di antara dalilnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” [21]
Oleh karena itu, perilaku tasyabuh (menyerupai orang kafir) dalam perkara yang menjadi ciri khas mereka adalah diharamkan. Contohnya adalah mencukur jenggot dan mengikuti model pakaian yang menjadi ciri khas mereka.
Kelima: Bekerjasama atau membantu merayakan perayaan orang kafir, seperti membantu dalam acara natal. Hal ini diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan Allah Ta’ala pun berfirman,
“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah [5] : 2)
Begitu pula diharamkan menghadiri perayaan agama mereka. Allah Ta’ala menceritakan mengenai sifat orang beriman,
“Dan orang-orang yang beriman adalah yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon [25] : 72).
Di antara makna “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’ bin Anas. [22] Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk orang yang tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Jika tidak menghadiri perayaan tersebut adalah suatu hal yang terpuji, berarti melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan termasuk ‘aib. [23]
Begitu pula diharamkan mengucapkan selamat pada hari raya orang kafir. Bahkan diharamkannya hal ini berdasarkan ijma’ atau kesepakatan para ulama.

Ulama Sepakat: Haram Mengucapkan Selamat Natal
Perkataan Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahlu Dzimmah,
”Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” [24]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin mengatakan, ”Ucapan selamat hari natal atau ucapan selamat lainnya yang berkaitan dengan agama kepada orang kafir adalah haram berdasarkan kesepakatan para ulama.” [25]
Herannya ulama-ulama kontemporer saat ini [26] malah membolehkan mengucapkan selamat Natal. Alasan mereka berdasar pada surat Al Mumtahanah ayat 8. Sungguh, pendapat ini adalah pendapat yang ’nyleneh’ dan telah menyelisihi kesepakatan para ulama. Pendapat ini muncul karena tidak bisa membedakan antara berbuat ihsan (berlaku baik) dan wala’ (loyal). Padahal para ulama katakan bahwa kedua hal tersebut adalah berbeda sebagaimana telah kami utarakan sebelumnya.
Pendapat ini juga sungguh aneh karena telah menyelisihi kesepakatan para ulama (ijma’). Sungguh celaka jika kesepakatan para ulama itu diselisihi. Padahal Allah Ta’ala berfirman,
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’ [4] : 115).
Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) mereka. Dari sini, kami merasa aneh jika dikatakan bahwa mengucapkan selamat natal pada orang nashrani dianggap sebagai masalah khilafiyah (beda pendapat). Padahal sejak masa silam, para ulama telah sepakat (berijma’) tidak dibolehkan mengucapkan selamat pada perayaan non muslim. Baru belakangan ini dimunculkan pendapat yang aneh dari Yusuf Qardhawi, cs. Siapakah ulama salaf yang sependapat dengan beliau dalam masalah ini?Padahal sudah dinukil ijma’ (kata sepakat) dari para ulama tentang haramnya hal ini.
Hujjah terakhir yang kami sampaikan, adakah ulama salaf di masa silam yang menganggap bahwa mengucapkan selamat pada perayaan non muslim termasuk bentuk berbuat baik (ihsan) dan dibolehkan, padahal acara-acara semacam natalan dan perayaan non muslim sudah ada sejak masa silam?! Di antara latar belakangnya karena tidak memahami surat Mumtahanah ayat 8 dengan benar. Tidak memahami manakah bentuk ihsan (berbuat baik) dan bentuk wala’ (loyal). Dan sudah kami utarakan bahwa mengucapkan selamat pada perayaan non muslim termasuk bentuk wala’ dan diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’). Dan namanya ijma’ tidak pernah lepas dari dari Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana seringkali diutarakan oleh para ulama. Hanya Allah yang memberi taufik.

Bentuk Interaksi yang Dibolehkan dengan Non Muslim [27]
Agar tidak disalahpahami, sekarang kami akan utarakan beberapa hal yang mestinya diketahui bahwa hal-hal ini tidak termasuk loyal (wala’) pada orang kafir. Dalam penjelasan kali ini akan dijelaskan bahwa ada sebagian bentuk muamalah dengan mereka yang hukumnya wajib, ada yang sunnah dan ada yang cuma sekedar dibolehkan. Namun sebelumnya kita harus mengetahui lebih dulu bahwa orang kafir itu ada empat macam:
  1. Kafir mu’ahid yaitu orang kafir yang tinggal di negeri mereka sendiri dan di antara mereka dan kaum muslimin memiliki perjanjian.
  2. Kafir dzimmi yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum muslimin dan sebagai gantinya mereka mengeluarkan jizyah (semacam upeti) sebagai kompensasi perlindungan kaum muslimin terhadap mereka.
  3. Kafir musta’man yaitu orang kafir masuk ke negeri kaum muslimin dan diberi jaminan keamanan oleh penguasa muslim atau dari salah seorang muslim.
  4. Kafir harbi yaitu orang kafir selain tiga jenis di atas. Kaum muslimin disyari’atkan untuk memerangi orang kafir semacam ini sesuai dengan kemampuan mereka. [28]
Adapun bentuk interaksi dengan orang kafir (selain kafir harbi) yang diwajibkan adalah:
Pertama: Memberikan rasa aman kepada kafir dzimmi dan kafir musta’man selama ia berada di negeri kaum muslimin sampai ia kembali ke negerinya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At Taubah [9] : 6)
Kedua: Berlaku adil dalam memutuskan hukum antara orang kafir dan kaum muslimin, jika mereka berada di tengah-tengah penerapan hukum Islam. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maidah [5] : 8)
Ketiga: Mendakwahi orang kafir untuk masuk Islam.
Ini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian sudah mendakwahi mereka maka yang lain gugur kewajibannya. Karena mendakwahi mereka berarti telah mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Hal ini bisa dilakukan dengan menjenguk mereka ketika sakit, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjenguk anak kecil yang beragama Yahudi untuk diajak masuk Islam. Akhirnya ia pun masuk Islam.
Dari Anas bin Malik —radhiyallahu ‘anhu—, ia berkata, “Dulu pernah ada seorang anak kecil Yahudi yang mengabdi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu suatu saat ia sakit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, lalu beliau mengatakan, “Masuklah Islam.” Kemudian anak kecil itu melihat ayahnya yang berada di sisinya. Lalu ayahnya mengatakan, “Taatilah Abal Qosim (yaitu Rasulullah) —shallallahu ‘alaihi wa sallam—”. Akhirnya anak Yahudi tersebut masuk Islam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumahnya dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak tersebut dari siksa neraka.” [29]
Keempat: Diharamkan memaksa orang Yahudi, Nashrani dan kafir lainnya untuk masuk Islam.Karena Allah Ta’ala berfirman,
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al Baqarah: 256).
Ibnu Katsir mengatakan, “Janganlah memaksa seorang pun untuk masuk ke dalam Islam. Karena kebenaran Islam sudah begitu jelas dan gamblang. Oleh karenanya tidak perlu ada paksaan untuk memasuki Islam. Namun barangsiapa yang Allah beri hidayah untuk menerima Islam, hatinya semakin terbuka dan mendapatkan cahaya Islam, maka ia berarti telah memasuki Islam lewat petunjuk yang jelas. Akan tetapi, barangsiapa yang masih tetap Allah butakan hati, pendengaran dan penglihatannya, maka tidak perlu ia dipaksa-paksa untuk masuk Islam.” [30]
Cukup dengan sikap baik (ihsan) yang kita perbuat pada mereka membuat mereka tertarik pada Islam, tanpa harus dipaksa.
Kelima: Dilarang memukul atau membunuh orang kafir (selain kafir harbi). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, .
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahid ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” [31]
Keenam: Tidak boleh bagi seorang muslim pun menipu orang kafir (selain kafir harbi) ketika melakukan transaksi jual beli, mengambil harta mereka tanpa jalan yang benar, dan wajib selalu memegang amanat di hadapan mereka. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Ingatlah! Barangsiapa berlaku zholim terhadap kafir Mu’ahid, mengurangi haknya, membebani mereka beban (jizyah) di luar kemampuannya atau mengambil harta mereka tanpa keridhoan mereka, maka akulah nantinya yang akan sebagai hujah mematahkan orang semacam itu.” [32]
Ketujuh: Diharamkan seorang muslim menyakiti orang kafir (selain kafir harbi) dengan perkataan dan dilarang berdusta di hadapan mereka. Jadi seorang muslim dituntut untuk bertutur kata dan berakhlaq yang mulia dengan non muslim selama tidak menampakkan rasa cinta pada mereka. Allah Ta’ala berfirman, .
“Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al Baqarah: 83).
Berkata yang baik di sini umum kepada siapa saja.
Kedelapan: Berbuat baik kepada tetangga yang kafir (selain kafir harbi) dan tidak mengganggu mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jibril terus menerus memberi wasiat kepadaku mengenai tetangga sampai-sampai aku kira tetangga tersebut akan mendapat warisan.” [33]
Kesembilan: Wajib membalas salam apabila diberi salam oleh orang kafir. Namun balasannya adalah wa ‘alaikum. [34] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, .
“Jika salah seorang dari Ahlul Kitab mengucapkan salam pada kalian, maka balaslah: Wa ‘alaikum.” [35] Akan tetapi, kita dilarang memulai mengucapkan salam lebih dulu pada mereka. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashrani dalam ucapan salam.” [36]
Adapun bentuk interaksi dengan orang kafir (selain kafir harbi) yang dibolehkan dan dianjurkan adalah:
Pertama: Dibolehkan mempekerjakan orang kafir dalam pekerjaan atau proyek kaum muslimin selama tidak membahayakan kaum muslimin.
Kedua: Dianjurkan berbuat ihsan (baik) pada orang kafir yang membutuhkan seperti memberi sedekah kepada orang miskin di antara mereka atau menolong orang sakit di antara mereka. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala.” [37]
Ketiga: Tetap menjalin hubungan dengan kerabat yang kafir (seperti orang tua dan saudara) dengan memberi hadiah atau menziarahi mereka. Sebagaimana dalilnya telah kami jelaskan di atas.
Keempat: Dibolehkan memberi hadiah pada orang kafir agar membuat mereka tertarik untuk memeluk Islam, atau ingin mendakwahi mereka, atau ingin agar mereka tidak menyakiti kaum muslimin. Sebagaimana dalilnya telah kami jelaskan di atas.
Kelima: Dianjurkan bagi kaum muslimin untuk memuliakan orang kafir ketika mereka bertamu sebagaimana boleh bertamu pada orang kafir dan bukan maksud diundang. Namun jika seorang muslim diundang orang kafir dalam acara mereka, maka undangan tersebut tidak perlu dipenuhi karena ini bisa menimbulkan rasa cinta pada mereka.
Keenam: Boleh bermuamalah dengan orang kafir dalam urusan dunia seperti melakukan transaksi jual beli yang mubah dengan mereka atau mengambil ilmu dunia yang bernilai mubah yang mereka miliki (tanpa harus pergi ke negeri kafir).
Ketujuh: Diperbolehkan seorang pria muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) selama wanita tersebut adalah wanita yang selalu menjaga kehormatannya serta tidak merusak agama si suami dan anak-anaknya. Sedangkan selain ahli kitab (seperti Hindu, Budha, Konghucu) haram untuk dinikahi. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS. Al Maidah [5] : 5).
Ingat, seorang pria muslim menikahi wanita ahli kitab hanyalah dibolehkan dan bukan diwajibkan atau dianjurkan. Dan sebaik-baik wanita yang dinikahi oleh pria muslim tetaplah seorang wanita muslimah.
Adapun wanita muslimah tidak boleh menikah dengan orang kafir mana pun baik ahlul kitab (Yahudi dan Nashrani) dan selain ahlul kitab karena Allah Ta’ala berfirman,
“Mereka (wanita muslimah) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al Mumtahanah [60] : 10)
Kedelapan: Boleh bagi kaum muslimin meminta pertolongan pada orang kafir untuk menghalangi musuh yang akan memerangi kaum muslimin. Namun di sini dilakukan dengan dua syarat:
  1. Ini adalah keadaan darurat sehingga terpaksa meminta tolong pada orang kafir.
  2. Orang kafir tidak membuat bahaya dan makar pada kaum muslimin yang dibantu.
Kesembilan: Dibolehkan berobat dalam keadaan darurat ke negeri kafir.
Kesepuluh: Dibolehkan menyalurkan zakat kepada orang kafir yang ingin dilembutkan hatinya agar tertarik pada Islam, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, orang-orang yang ingin dibujuk hatinya.” (QS. At Taubah [9] : 60)
Kesebelas: Dibolehkan menerima hadiah dari orang kafir selama tidak sampai timbul perendahan diri pada orang kafir atau wala’ (loyal pada mereka). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima hadiah dari beberapa orang musyrik. Namun ingat, jika hadiah yang diberikan tersebut berkenaan dengan hari raya orang kafir, maka sudah sepantasnya tidak diterima.
***
Inti dari pembahasan ini adalah tidak selamanya berbuat baik pada orang kafir berarti harus loyal dengan mereka, bahkan tidak mesti sampai mengorbankan agama. Kita bisa berbuat baik dengan hal- hal yang dibolehkan bahkan dianjurkan atau diwajibkan sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.
Semoga Allah selalu menunjuki kita pada jalan yang lurus. Hanya Allah yang beri taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal (rumaysho.com/muslim.or.id)
Panggang, Gunung Kidul, 25 Dzulhijah 1430 H
footnote:
  1. Sebagian ulama pakar tafsir (seperti Qotadah) menyatakan bahwa surat Al Mumtahanah ayat 8 berlaku untuk semua orang kafir. Jadi kita diperintahkan untuk berlaku baik dengan orang kafir. Namun menurut pendapat ini, ayat tersebut telah mansukh (dihapus) dengan surat At Taubah ayat 5 yang memerintahkan untuk memerangi orang kafir (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 6/19,Mawqi’ Al Islam). Akan tetapi, pakar tafsir lainnya tetap menyatakan bahwa surat Al Mumtahanah ayat 8 adalah ayat yang tidak mansukh dan mereka berdalil dengan kisah Asma’ binti Abu Bakr (Lihat Tafsir Juz Qod Sami’a , Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, hal. 170, Maktabah Makkah, cetakan pertama, tahun 2003 ).
  2. Kebanyakan ulama mengatakan bahwa ibu Asma’ mati dalam keadaan musyrik. Sebagian ulama mengatakan bahwa ibunya mati dalam keadaan Islam. Nama ibu Asma’ ada yang menyebut Qoylah dan ada pula yang menyebut Qotilah. (Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 7/89, Dar Ihya’ At Turots Al Arobi, Beirut, cetakan kedua, 1392). Qotilah adalah istri Abu Bakr yang sudah dicerai di masa Jahiliyah. (Lihat ‘Umdatul Qori Syarh Shahih Al Bukhari, Badaruddin Al ‘Aini Al Hanafi, 20/169, Asy Syamilah)
  3. Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 8/236-237, Al Maktab Al Islami Beirut, cetakan ketiga, tahun 1404 H.
  4. Makna ini berdasarkan riwayat Abu Daud. Al Qodhi mengatakan bahwa makna lain dari roghibah adalah benci dengan Islam. Jadi, ibunda Asma’ sangat benci dengan Islam, sehingga ia pun bertanya pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah masih boleh ia menjalin hubungan dengan ibunya. Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 7/89.
  5. HR. Bukhari no. 5798.
  6. Jaami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, Muhaqqiq: Ahmad Muhammad Syakir, 23/323, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama tahun 1420 H.
  7. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muhaqqiq: Sami bin Muhammad Salamah, 8/90, terbitan Dar At Thoyibah, cetakan kedua, 1420 H.
  8. Lihat Al Wala’ wal Baro’, Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qahthani, hal. 307, Asy Syamilah.
  9. Lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm, 11/138, Mawqi’ Ya’sub.
  10. Mafatihul Ghoib, Fakhruddin Ar Rozi, 15/325, Mawqi’ At Tafasir.
  11. Fathul Bari Syarh Shohih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al ‘Asqolani Asy Syafi’i, 5/233, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379.
  12. Tafsir Juz Qod Sami’a , Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, hal. 166, Maktabah Makkah, cetakan pertama, tahun 2003.
  13. Saudara ‘Umar ini bernama ‘Utsman bin Hakim, dia adalah saudara seibu dengan ‘Umar. Ibu ‘Umar bernama Khoitsamah binti Hisyam bin Al Mughiroh. Lihat Fathul Bari, 5/233.
  14. HR. Bukhari no. 2619.
  15. HR. Bukhari no. 2620.
  16. HR. Muslim no. 2556.
  17. Lihat pembahasan Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qahthani dalam Al Wala’ wal Baro’, hal. 303, Asy Syamilah.
  18. Adabul Mufrod no. 95/128. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih. Lihat Al Irwa’ (891): [Abu Dawud: 40-Kitab Al Adab, 123-Fii Haqqil Jiwar. At Tirmidzi: 25-Kitab Al Birr wash Shilah, 28-Bab Maa Jaa-a fii Haqqil Jiwaar]
  19. Kami olah dari Tahdzib Tashil Al ‘Aqidah Al Islamiyah, Prof. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Jibrin, hal. 224-229, Maktabah Al Mulk Fahd Al Wathoniyah, cetakan pertama, 1425 H.
  20. Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.
  21. HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269
  22. Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 4/484, Mawqi’ Al Islam.
  23. Lihat Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim, 1/483.
  24. Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1418 H.
  25. Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 3/28-29, no. 404, Asy Syamilah.
  26. Semacam Yusuf Qardhawi, begitu pula Lembaga Riset dan Fatwa Eropa. Juga yang melegalkan ucapan selamat natal pada Nashrani adalah Quraish Shihab.
  27. Kami olah dari Tahdzib Tashil Al ‘Aqidah Al Islamiyah, hal. 232-242.
  28. Lihat Tahdzib Tashil Al ‘Aqidah Al Islamiyah, hal. 232-234.
  29. HR. Bukhari no. 1356.
  30. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 1/682, Dar Thoyyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
  31. HR. Bukhari no. 3166.
  32. HR. Abu Daud no. 3052. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits ini dalam Muroqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, Al Mala ‘Ala Qori, 12/284, Mawqi’ Al Misykah Al Islamiyah.
  33. HR. Bukhari no. 6014 dan Muslim no. 2625, dari ‘Aisyah.
  34. Namun sebagian ulama menjelaskan bahwa jika ahlul kitab mengucapkan salamnya itu tegas “Assalamu’’alaikum”, maka jawabannya adalah tetap semisal dengannya yaitu: “Wa’alaikumus salam.” Alasannya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (QS. An Nisa’: 86). Sebagaimana hal ini adalah pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin.
  35. HR. Bukhari no. 6258 dan Muslim no. 2163, dari Anas bin Malik.
  36. HR. Tirmidzi no. 1602 dan Ahmad (2/266). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
  37. HR. Bukhari no. 2466 dan Muslim no. 2244.